Pesatnya Pertumbuhan dan Ekspansi Global QRIS: Ancaman bagi Dolar AS, Mastercard, dan Visa

Logo QRIS Indonesia yang digunakan dalam transaksi pembayaran digital
Gambar resmi website QRIS

Pesatnya Pertumbuhan dan Ekspansi Global QRIS

QRIS, yang diluncurkan secara resmi pada 1 Januari 2020 setelah uji coba awal untuk kegiatan sosial pada 17 Agustus 2019, telah menunjukkan pertumbuhan yang fenomenal. Dari hanya 5 juta transaksi dengan nilai Rp365 miliar per bulan pada Januari 2020, angka ini melonjak drastis menjadi 96 triliun per bulan pada tahun 2025, menunjukkan pertumbuhan lebih dari 200 kali lipat atau sekitar 26.000%.

Per Juni 2025, total nilai transaksi menggunakan QRIS telah mencapai lebih dari Rp579 triliun dengan volume transaksi melebihi 6 miliar, bahkan secara global telah digunakan untuk lebih dari 8 miliar transaksi. Di Indonesia sendiri, lebih dari 57 juta pengguna dan lebih dari 39 juta pelaku usaha UMKM telah mengadopsi QRIS, dengan mayoritas lebih dari 90% adalah UMKM.

Yang lebih mengesankan, QRIS tidak hanya menjadi “jagoan kandang”. QRIS telah digunakan di Singapura, Thailand, dan Malaysia, di mana pembayaran dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu, QRIS juga bersiap berekspansi ke Arab Saudi untuk mempermudah transaksi jemaah haji dan umrah, serta ke China untuk mendukung perdagangan dan bisnis ekspor-impor. Per Juni 2025, transaksi QRIS di luar negeri tercatat lebih dari 60.000 transaksi dengan nilai di atas Rp18 miliar.


Mengapa Amerika Serikat Panik? De-dolarisasi dan Ancaman bagi Mastercard/Visa

Penyebab utama kepanikan AS adalah ancaman terhadap dominasi dolar dan potensi kerugian besar bagi perusahaan pembayaran mereka, Mastercard dan Visa. QRIS beroperasi dengan Local Currency Settlement (LCS) sebagai tulang punggungnya, yang memungkinkan transaksi antar negara langsung menggunakan mata uang lokal tanpa perlu konversi ke dolar AS.

Ini berbeda dengan Mastercard atau Visa, yang ketika digunakan di luar negeri, akan mengonversi rupiah ke dolar AS terlebih dahulu, lalu dari dolar ke mata uang lokal negara tujuan, sehingga menghasilkan keuntungan dua kali lipat dari nilai tukar. Dengan QRIS, ketergantungan terhadap dolar AS berkurang, yang berarti rupiah menjadi lebih berdaulat dan cadangan devisa Indonesia menguat karena tidak perlu lagi menjual rupiah untuk mendapatkan dolar setiap kali transaksi internasional.

Selain itu, ada perbedaan signifikan dalam biaya transaksi. QRIS hanya mengenakan biaya sekitar 0,3% per transaksi, sedangkan Mastercard dan Visa mengenakan 2% hingga 2,5%. perhitungan bahwa jika transaksi Rp579 triliun dalam enam bulan pertama 2025 menggunakan Visa/Mastercard, mereka bisa mendapatkan keuntungan Rp11,5 triliun, jauh lebih besar dibandingkan pendapatan dari QRIS sebesar Rp1,7 triliun. Hal ini menunjukkan mengapa perusahaan kapitalis Amerika berkepentingan untuk menekan kebijakan yang merugikan bisnis mereka.

Geopolitic map

Agenda Geopolitik di Balik Kekhawatiran AS

Keprihatinan AS terhadap QRIS bukanlah hal baru dan telah dipantau oleh intelijen AS sejak bertahun-tahun lalu. Laporan dari United States Trade Representative (USTR) atau Kementerian Perdagangan AS pada tahun 2024 bahkan secara eksplisit menggarisbawahi QRIS sebagai “Foreign Trade Barriers” yang mengancam perusahaan-perusahaan AS.

Mereka merasa kecewa karena Bank Indonesia tidak melakukan “konsultasi” sebelum menerbitkan kebijakan seperti QRIS, mengindikasikan keinginan AS untuk mengendalikan regulasi negara lain. Ini diperparah dengan mandat baru Bank Indonesia pada Mei 2023 yang mengharuskan kartu kredit pemerintah Indonesia diproses melalui National Payment Gateway (GPN), yang juga merugikan perusahaan pembayaran AS.

Menekankan bahwa semua ini adalah bagian dari perang dagang dan agenda geopolitik yang lebih besar, di mana AS berupaya mempertahankan dominasi dolar dan kekuatan globalnya.


Respons Bank Indonesia dan Masa Depan Dolar

Menanggapi kekhawatiran AS, Bank Indonesia disebutkan mengambil strategi “laying low” dengan menyatakan bahwa kartu kredit AS masih dominan di Indonesia dan QRIS masih merupakan “pemain kecil”. Namun, beberapa orang meragukan kompetensi Bank Indonesia dalam menghadapi situasi geopolitik ini, dan mempertanyakan apakah Indonesia seharusnya bersikap lebih tegas dalam mendukung de-dolarisasi dan bahkan mempertimbangkan bergabung dengan aliansi seperti BRICS yang berupaya menciptakan mata uang baru.

Secara global, penggunaan dolar AS memang terus berkurang karena banyak negara yang merasa tidak puas dengan kekuatan dolar dan bagaimana AS telah “mempersenjatai” dolarnya untuk sanksi keuangan. Indeks dolar sendiri dilaporkan terus menurun dalam tiga tahun terakhir, bahkan anjlok lebih dari 10% di semester I 2025, penurunan terparah sejak 1973.

beberapa orang bahkan memprediksi bahwa nilai dolar akan terus melemah, sementara harga emas akan melonjak, sebagai konsekuensi dari perang tarif dan pergeseran geopolitik global.